Rabu, 01 Juni 2016

Antara Amal dan Nominal



Assalamualaikum sahabat…
Pagi sekitar jam 9, HP saya bordering. Saya lihat ada nomor baru yang memanggil. Terdengar suara dari seberang, “ Hallo, assalamualaikum”. Kata seseorang di seberang.”wa alaikum salam”,sambung saya. “pak mul ada dimana sekarang?” tanyanya. “Saya ada di kantor, di blok E”. jawab saya kepada seseorang yang ternyata  adalah ibu ifah, rekan guru di tempat saya mengejar . “ pak mul bisa ke blok D gak sekarang?”. “memangnya ada apa bu?” Jawab saya. “ minta tolong sampean yang membacakan do’a. karena kebetulan orang yang  biasa menyampaikan do’a  juga sedang mengadakan perpisahan hari ini di MTs masing-masing. Jadi saya meminta tolong kepada sampean , soalnya gak ada lagi yang saya kenal yang biasa membacakan doa.  Doa-doa yang biasa aja, doa selamat kah. Tolong ya. Saya tunggu di gedung serba guna di tempat acara. “ insya Allah bu saya segera kesana, sebentar saya selesaikan makan dulu.ok, terima kasih. Inggih, sama-sama bu. Jawab saya sambil setengah heran.
Lepas makan, saya pun memacu motor ke tempat acara di gedung serba guna tempat berlangsungnya acara perpisahan anak-anak TK Dharma Bakti kecamatan Angsana. Dalam perjalanan saya sambil memikirkan, kok bisa  ya saya dua hari berturut-turut membacakan do’a di sebuah acara formal yang dihadiri banyak orang. Dalam hati saya berfikir kok segitu susahnya ya orang-orang untuk mau membacakan doa. Padahal tidak ada aturan khusus harus membacakan doa ini ataupun itu. Yang jelas membaca doa saja. Bahkan kalo saya pikir-pikirpun doa dalam bahasa Indonesia pun tidak ada masalah. Bahkan itu mungkin lebih baik karena orang-orang yang kita ajak untuk berdoa paham akan maksud doa yang kita bacakan. Namun, yaa memang begitulah fenomena saat ini. Betapa semakin susah dan langkanya mencari orang-orang yang mempunyai kompetensi di bidang keagamaan, walaupun hanya untuk sekedar membacakan doa.
Dalam perjalanan itu pun saya memantapkan tekad untuk hanya sekedar ingin lebih banyak bermanfaat untuk orang lain. Karena memang itulah prinsip hidup yang saya ketahui. Bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang paling banyak memberi  manfaat buat orang lain disekelilingnya.  Seperti  itulah kira-kira ajaran nabi yang masih saya ingat sampai sekarang.
Tak lama berselang sampailah saya ditempat acara. Sebagaimana di hari pertama ketika saya ditunjuk sebagai pembaca doa, saya pun hari ini datang dengan sedikit gugup. Maklum saya datang ke tempat acara yang memang diluar perkiraan saya sebelumnya. Jadi bisa dikatakan mendadak dan tiba-tiba.Namun  sayapun berusaha menenangkan diri. Seolah-olah saya memang orang penting yang memang dibutuhkan kehadirannya. Hal ini saya lakukan untuk menghilangkan rasa minder yang sudah menjadi tabiat saya sejak dari kecil.. setelah mengikuti serangkaian prosesi acara, akhirnya tibalah giliran saya. Meskipun terbilang acara penutup tetapi tetap rasa gugup itu hadir meski saya sudah mempersiapkan segenap kata-kata yang mudah-mudahan pas di telinga para pendengar yang hadir waktu itu.
Singkat cerita doa pun selesai, dan saya segera berpamitan dengan bapak di samping saya. Ketika di pintu keluar saya dicegat oleh ibu-ibu muda sambil menjulurkan amplop yang isinya sudah bisa saya tebak. Untuk menghilangkan perhatian yang lain saya pun menerima dengan singkat dan hanya mengucapkan terima kasih. Tanpa diduga, di luar ruangan saya dicegat lagi oleh ibu kepala PAUD yang memberikan amplop lagi namun kali ini bersama sekotak nasi bungkus.”maaf pak itu tadi salah amplop” begitu katanya. Sayapun tanpa ragu menukar amplop yang sudah saya terima sebelumnya dengan amplop yang dikasih oleh ibu kepala PAUD tersebut. Alhasil, setelah sampai di rumah saya membuka amplop tersebut,”Alhamdulillah ya Allah, rezeki dari mu memang datang tanpa di duga dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Begitu gumam saya ketika membuka isi amplop yang berjumlah Rp 150.000. sungguh angka yang pantastis menurut saya. Karena hanya sekedar membacakan doa yang semua orang pun bisa dalam singkat bisa saya mendapatkan uang sejumlah itu. Mungkin ini terlihat biasa bagi sebagian orang tapi baru kali ini terjadi bagi saya. Niat amal yang saya lakukan ternyata Allah mengganjarnya dengan nilai nominal. Sungguh sebuah anugerah rezeki yang patut saya syukuri.
Beberapa saat setelah itu saya baru mendapat jawaban tentang apa hikmah dari sepintas kejadian sederhana tersebut. Bahwa ternyata memang rezeki Allah itu  datang tanpa di duga dan disangka-sangka. Selain itu, ternyata sebagian masyarakat cukup menghargai orang-orang yang mempunyai kemampuan di bidang agama. Bukan berarti saya memiliki kemampuan agama yang mumpuni. Saya hanya sekedar bisa baca dan “mau membacakan”. Itu saja. Selebihnya saya hanya belajar dari buku dan mendengar ceramah di macam-macam tempat. Memang sih Idealnya kita harus punya seorang guru yang khusus mengajarkan kita tentang perkara-perkara agama sampai kita di ijazahkan sebagai orang yang layak untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Tetapi terus terang saya belum punya kemampuan untuk itu. Saya berharap suatu saat allah menunjukkan saya jalannya.
Disisi lain, sebagian masyarakat kita ada yang melabeli para ustad dan kiyai sebagai ustadz bayaran bahkan beberapa waktu lalu ada saja infotaiment yang menobatkan seorang ustadz sebagai ustad dengan tarif tertinggi di Indonesia. Sebenarnya kalau kita mau mengkaji ilmu lebih dalam, sudah selayaknya seorang kiyai itu djunjung dan di agungkan karena memang begiltulah cara dan adab kita terhadap seorang ahli ilmu. Begitulah kira-kira imam al ghazali mengajarkan dalam kitab ihya ulumuddin. Selain itu dalam suatu kesempatan acara maulid nabi saya pernah mendengar dari salah seorang ustad di tempat saya bahwa ilmu itu ditempuh dengah banyak pengorbanan. Pengorbanan waktu dan biaya. Sehingga wajar jika kita pun memberikan tarif  yang layak kepada mereka. Sebagai bentuk timbal balik dari yang sudah mereka lakukan. Kita (jamaah) lah yang seharusnya membutuhkan guru bukan guru yang membutuhkan kita. Begitu kira-kira ucapan beliau yang saya ingat.
Namun seyogyanya memang seorang ustadz  atau kiyai tidak pantas untuk menentukan berapa bayaran yang harus diterimanya jika dia memberikan ceramah ataupun perkara-perkara agama lainnya karena memang sudah kewajibnnya lah untuk menyampaikan pesan dakwah. Tetapi untuk mengimbangi itu sudah sewajarnya para kaum muslimin muslimat memahami bahwa seharusnya para ustad dan kiyai yang menyampaikan pesan agama dihargai dengan harga setinggi-tingginya, begitulah adab kita terhadap seorang ahli ilmu. Jadi seorang kiayai idealnya dia hanya berniat beramal tanpa menentukan nilai nominal. Karena kalau sudah ditentukan nilai nominal maka berkah dari ilmu yang disampaikan pun akan hilang. Biarlah urusan nominal menjadi kewajiban  para jamaah yang mengundang kehadiran mereka seberapa kemampuannya, namun tetap dalam porsi penghargaan yang wajar. Jika kedua sudut pandang ini kita terapkan. Tentunya akan lebih banyak lagi acara-acara positif berupa ceramah agama yang hadir di tengah-tengah masyarakat kita sebagai benteng untuk mencegah segala tindak tanduk dan peluang kemaksiatan yang mungkin saja terjadi kapan saja.
Seharusnya  kita merasa malu jika artis yang kita datangkan dari jauh-jauh yang hanya membawa hiburan dan lebih banyak mudharatnya kita bayar dengan harga setinggi langit. Sedangkan para ustad dan kiyai yang menyampaikan pesan-pesan agama dan kebaikan kita perlakukan lebih rendah dari padanya  karena kita tidak mau membayar  dengan harga yang pantas.tentunya ini sebuah ironi.
Begitullah diantara sekelumit hikmah yang dapat saya pahami semoga kita tetap dalm lindungan Allah dan rahmat dari Nya. Amiin..