Assalamualaikum sahabat…
Pagi sekitar jam 9, HP saya bordering. Saya lihat ada nomor
baru yang memanggil. Terdengar suara dari seberang, “ Hallo, assalamualaikum”.
Kata seseorang di seberang.”wa alaikum salam”,sambung saya. “pak mul ada dimana
sekarang?” tanyanya. “Saya ada di kantor, di blok E”. jawab saya kepada
seseorang yang ternyata adalah ibu ifah,
rekan guru di tempat saya mengejar . “ pak mul bisa ke blok D gak sekarang?”.
“memangnya ada apa bu?” Jawab saya. “ minta tolong sampean yang membacakan do’a.
karena kebetulan orang yang biasa
menyampaikan do’a juga sedang mengadakan
perpisahan hari ini di MTs masing-masing. Jadi saya meminta tolong kepada
sampean , soalnya gak ada lagi yang saya kenal yang biasa membacakan doa. Doa-doa yang biasa aja, doa selamat kah.
Tolong ya. Saya tunggu di gedung serba guna di tempat acara. “ insya Allah bu
saya segera kesana, sebentar saya selesaikan makan dulu.ok, terima kasih.
Inggih, sama-sama bu. Jawab saya sambil setengah heran.
Lepas makan, saya pun memacu motor ke tempat acara di gedung
serba guna tempat berlangsungnya acara perpisahan anak-anak TK Dharma Bakti
kecamatan Angsana. Dalam perjalanan saya sambil memikirkan, kok bisa ya saya dua hari berturut-turut membacakan
do’a di sebuah acara formal yang dihadiri banyak orang. Dalam hati saya
berfikir kok segitu susahnya ya orang-orang untuk mau membacakan doa. Padahal
tidak ada aturan khusus harus membacakan doa ini ataupun itu. Yang jelas
membaca doa saja. Bahkan kalo saya pikir-pikirpun doa dalam bahasa Indonesia
pun tidak ada masalah. Bahkan itu mungkin lebih baik karena orang-orang yang
kita ajak untuk berdoa paham akan maksud doa yang kita bacakan. Namun, yaa
memang begitulah fenomena saat ini. Betapa semakin susah dan langkanya mencari
orang-orang yang mempunyai kompetensi di bidang keagamaan, walaupun hanya untuk
sekedar membacakan doa.
Dalam perjalanan itu pun saya memantapkan tekad untuk hanya
sekedar ingin lebih banyak bermanfaat untuk orang lain. Karena memang itulah
prinsip hidup yang saya ketahui. Bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang
paling banyak memberi manfaat buat orang
lain disekelilingnya. Seperti itulah kira-kira ajaran nabi yang masih saya
ingat sampai sekarang.
Tak lama berselang sampailah saya ditempat acara.
Sebagaimana di hari pertama ketika saya ditunjuk sebagai pembaca doa, saya pun
hari ini datang dengan sedikit gugup. Maklum saya datang ke tempat acara yang
memang diluar perkiraan saya sebelumnya. Jadi bisa dikatakan mendadak dan
tiba-tiba.Namun sayapun berusaha
menenangkan diri. Seolah-olah saya memang orang penting yang memang dibutuhkan
kehadirannya. Hal ini saya lakukan untuk menghilangkan rasa minder yang sudah
menjadi tabiat saya sejak dari kecil.. setelah mengikuti serangkaian prosesi
acara, akhirnya tibalah giliran saya. Meskipun terbilang acara penutup tetapi
tetap rasa gugup itu hadir meski saya sudah mempersiapkan segenap kata-kata
yang mudah-mudahan pas di telinga para pendengar yang hadir waktu itu.
Singkat cerita doa pun selesai, dan saya segera berpamitan
dengan bapak di samping saya. Ketika di pintu keluar saya dicegat oleh ibu-ibu
muda sambil menjulurkan amplop yang isinya sudah bisa saya tebak. Untuk
menghilangkan perhatian yang lain saya pun menerima dengan singkat dan hanya
mengucapkan terima kasih. Tanpa diduga, di luar ruangan saya dicegat lagi oleh
ibu kepala PAUD yang memberikan amplop lagi namun kali ini bersama sekotak nasi
bungkus.”maaf pak itu tadi salah amplop” begitu katanya. Sayapun tanpa ragu
menukar amplop yang sudah saya terima sebelumnya dengan amplop yang dikasih
oleh ibu kepala PAUD tersebut. Alhasil, setelah sampai di rumah saya membuka
amplop tersebut,”Alhamdulillah ya Allah, rezeki dari mu memang datang tanpa di
duga dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Begitu gumam saya ketika
membuka isi amplop yang berjumlah Rp 150.000. sungguh angka yang pantastis
menurut saya. Karena hanya sekedar membacakan doa yang semua orang pun bisa
dalam singkat bisa saya mendapatkan uang sejumlah itu. Mungkin ini terlihat
biasa bagi sebagian orang tapi baru kali ini terjadi bagi saya. Niat amal yang
saya lakukan ternyata Allah mengganjarnya dengan nilai nominal. Sungguh sebuah
anugerah rezeki yang patut saya syukuri.
Beberapa saat setelah itu saya baru mendapat jawaban tentang
apa hikmah dari sepintas kejadian sederhana tersebut. Bahwa ternyata memang
rezeki Allah itu datang tanpa di duga
dan disangka-sangka. Selain itu, ternyata sebagian masyarakat cukup menghargai
orang-orang yang mempunyai kemampuan di bidang agama. Bukan berarti saya memiliki
kemampuan agama yang mumpuni. Saya hanya sekedar bisa baca dan “mau
membacakan”. Itu saja. Selebihnya saya hanya belajar dari buku dan mendengar
ceramah di macam-macam tempat. Memang sih Idealnya kita harus punya seorang
guru yang khusus mengajarkan kita tentang perkara-perkara agama sampai kita di
ijazahkan sebagai orang yang layak untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Tetapi
terus terang saya belum punya kemampuan untuk itu. Saya berharap suatu saat
allah menunjukkan saya jalannya.
Disisi lain, sebagian masyarakat kita ada yang melabeli para
ustad dan kiyai sebagai ustadz bayaran bahkan beberapa waktu lalu ada saja
infotaiment yang menobatkan seorang ustadz sebagai ustad dengan tarif tertinggi
di Indonesia. Sebenarnya kalau kita mau mengkaji ilmu lebih dalam, sudah
selayaknya seorang kiyai itu djunjung dan di agungkan karena memang begiltulah
cara dan adab kita terhadap seorang ahli ilmu. Begitulah kira-kira imam al
ghazali mengajarkan dalam kitab ihya ulumuddin. Selain itu dalam suatu
kesempatan acara maulid nabi saya pernah mendengar dari salah seorang ustad di
tempat saya bahwa ilmu itu ditempuh dengah banyak pengorbanan. Pengorbanan
waktu dan biaya. Sehingga wajar jika kita pun memberikan tarif yang layak kepada mereka. Sebagai bentuk
timbal balik dari yang sudah mereka lakukan. Kita (jamaah) lah yang seharusnya
membutuhkan guru bukan guru yang membutuhkan kita. Begitu kira-kira ucapan
beliau yang saya ingat.
Namun seyogyanya memang seorang ustadz atau kiyai tidak pantas untuk menentukan
berapa bayaran yang harus diterimanya jika dia memberikan ceramah ataupun
perkara-perkara agama lainnya karena memang sudah kewajibnnya lah untuk
menyampaikan pesan dakwah. Tetapi untuk mengimbangi itu sudah sewajarnya para
kaum muslimin muslimat memahami bahwa seharusnya para ustad dan kiyai yang
menyampaikan pesan agama dihargai dengan harga setinggi-tingginya, begitulah
adab kita terhadap seorang ahli ilmu. Jadi seorang kiayai idealnya dia hanya
berniat beramal tanpa menentukan nilai nominal. Karena kalau sudah ditentukan
nilai nominal maka berkah dari ilmu yang disampaikan pun akan hilang. Biarlah
urusan nominal menjadi kewajiban para
jamaah yang mengundang kehadiran mereka seberapa kemampuannya, namun tetap
dalam porsi penghargaan yang wajar. Jika kedua sudut pandang ini kita terapkan.
Tentunya akan lebih banyak lagi acara-acara positif berupa ceramah agama yang
hadir di tengah-tengah masyarakat kita sebagai benteng untuk mencegah segala
tindak tanduk dan peluang kemaksiatan yang mungkin saja terjadi kapan saja.
Seharusnya kita merasa
malu jika artis yang kita datangkan dari jauh-jauh yang hanya membawa hiburan
dan lebih banyak mudharatnya kita bayar dengan harga setinggi langit. Sedangkan
para ustad dan kiyai yang menyampaikan pesan-pesan agama dan kebaikan kita
perlakukan lebih rendah dari padanya
karena kita tidak mau membayar
dengan harga yang pantas.tentunya ini sebuah ironi.
Begitullah diantara sekelumit hikmah yang dapat saya pahami
semoga kita tetap dalm lindungan Allah dan rahmat dari Nya. Amiin..