Perjalanan ku mengenal cinta dimulai sejak aku masih duduk
di bangku kelas empat sd. Yayat, nama panggilan kecil gadis itu. Dia kakak
kelasku sekaligus anak kepala sekolah ku. Mungkin terdengar aneh dikala itu
mencintai seorang kakak kelas tetapi tidak bagi ku karena cintaku datang begitu
saja tanpa di minta. Tetapi begitulah aku. Hanya bias mencintai tanpa berani
mengungkapkan. Sampai waktu berlalu dan keadaan yang memisahkan tak pernah ada
lagi cerita tentang ketertarikan seorang mulyadi kepada yayat sang anak kepala
sekolah yang begitu menawan.
Waktu terus berlalu, membawaku menapaki jenjang pendidikan
sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) negeri 3 kusan hilir. Saat ini
sekolahku tersebut telah berganti nama menjadi sekolah menengah pertama(SMP)
negeri 1 angsana. Di sini pun aku tidak pernah memiliki cerita cinta yang
menarik untuk aku ceritakan kepada teman sebayaku. Karena cintaku masih sama
seperti keadaan waktu di sd. Cinta yang hanya bias mengagumi dalam hati tanpa
berani mengutarakan kepada si gadis impian. Fitri nama gadis itu. Kali ini dia
adik kelas ku. Meskipun begitu aku masih belum ada keberanian untuk
mengungkapkan perasaanku kepadanya. Mungkin memang beginilah aku dari dulu
seorang remaja pemalu yang hanya bias senyum tersipu ketika ditanyakan tentang
cinta kepada ku.
Pernah suatu ketika sepulang dari sekolah. “Ayo teman-teman
aku duluan”, ucap Maesaroh, teman dekat Fitri yang kebetulan sekali waktu itu
kami pulang berbarengan dengan teman-teman pria yang lain. selang beberapa saat
“ayo mau masuk dulu gak”, ucap masran teman ku sambil membelokkan si “Mustang”
yang telah setia menemani hamper tiga tahun lamanya. Sambil bercengkrama
beriringan kami terus mengayuh sepeda masing-masing. “Ayo”, ucap Ismail singkat
sambil membelokkan sepeda “jengki” khas orang tua tahun 90 an. Tiba lah saat tinggal kami
berdua yang mengayuh sepeda masing-masing. Ada perasaan senang sekaligus gugup
ketika tinggal kami berdua saja yang mengayuh sepeda setelah satu persatu
teman-temanku sampai dirumahnya masing-masing. Tak ayal setiap matapun tertuju
kearah kami ketika kami melintasi warung-warung dan kerumunan orang-orang yang
duduk-duduk di atas dipan melepas penatnya siang hari. Bahkan ada yang sampai
bersiul dan mengejek ku. “Mul, sai ni, braya me ke?”(Mul, dengan siapa itu,
pacar mu ya) sapa seorang wanita paruh baya dengan bahasa lomboknya. “Nde iya,
batur sekolah, kebetulan nde na milu mobil jemputan jelo ne”. (bukan, teman
sekolah. Kebetulan dia tidak ikut mobil jemputan hari ini) jawab ku dengan
tersenyum sambil menoleh kerarah Fitri yang dari tadi seolah bingung mendengar
percakapan kami. Grogi terlihat jelas dari raut wajah ku, karena sampai
perjalanan menuju rumahku semakin dekat aku belum juga menemukan kata-kata
pamungkas untuk bias menentramkan hati ini yang selalu terbayang wajahnya
berhari-hari. “Fit, aku mau sampai ne, mau ikut mampir dulu gak, kata ku
mencoba menawarkan diri”. Enggak, terima kasih aja kak. Mungkin lain kali”
ujarnya. “Tapi kan perjalanan mu masih jauh. Apalagi kamu masih akan melewati
perkebunan sawit yang begitu sepi, apa kamu tidak takut?” Tanya ku balik seolah
khawatir akan keselamatannya. Tidak kok, Insya Allah aman aja. Asal masih siang
hari gak papa” jawabnya. “Ya udah deh kalau begitu, hati-hati di jalan ya?”
jawab ku dengan nada berat hati karena aku tidak berhasil mengatakan apa yang
selama ini aku pendam. Sambil mengayuh gontai aku terus memaki diri dalam hati,
kenapa kamu masih belum berani juga muuul, tanyaku kepada diri sendiri.
Begitulah, akhirnya masa remaja SMP pun berlalu begitu saja
tanpa cerita cinta yang berarti. Sampai aku lulus nama Fitri hanya ada dalam
hati ku tanpa seorang pun yang tau bahwa aku pernah mencintanya. Waktu Sekolah
Menengah Atas (SMA) pun tiba. Di sini, lagi-lagi aku tertarik dengan seorang
adik kelasku. Mimin, adalah namanya yang aku dengar dari teman-temanku.
Orangnya berjilbab, putih, agak pendiam, dan senyumnya sungguh menawan hati.
Selidik punya selidik ternyata dia telah memiliki seorang kekasih yang juga
satu angkatan dengannya. Hal ini aku tau dari Wira teman dekatku yang kebetulan
anak kepala sekolahku waktu itu. Meskipun terlihat pendiam tetapi dia seorang
yang cukup berprestasi. Hal ini membuat ku menaruh perasaan yang teramat sangat
mencintainya. Dan sekali lagi, akupun tidak meninggalkan jejak maupun cerita
bahwa aku pernah mencintai seorang siti aminah dikala SMA. Mungkin hanya wira
lah yang tau isi hati ku, sampai saat ini.
Menginjak bangku kuliah, kedewasaan ku mulai tumbuh. Aku
mulai berfikir bahwa hidup di daerah yang jauh dari orang tua harus
pandai-pandai menjaga diri. Menjaga dari arus pergaulan dan menjaga dari setiap
keinginan untuk membelanjakan uang jajan yang diberikan orang tua. Hidup di
negeri orang harus pandai-pandai berhemat dan melihat peluang. Agar tidak hanya
semata-mata mengharapkan uang bekal dari rumah di kampung. Banjarmasin adalah
kota besar. Ibukotanya Kalimantan selatan. Memasuki dunia kampus sungguh sangat
berbeda dengan dunia sekolah yang telah 12 tahun menempa adat kebiasaan dalam
menuntut ilmu pengetahuan.
Disini aku satu angkatan dengan Lia. Seorang gadis manis
berjilbab yang cukup berpendirian. Bahkan dia terlihat cukup vocal disbanding
teman-teman ku yang lain. hal ini akan terlihat ketika di salah satu mata
kuliah ada diskusi yang membahas suatu topic tertentu. Apalagi dia juga sangat
aktif dalam salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di bidang keagamaan yang
ada di kampus. Apalagi UKM yang dia ikuti terbilang cukup keras menyuarakan
setiap aspirasi yang berbeda pandangan dengan mereka. Tetapi meskipun begitu ketertarikan
ku kepadanya tidak menghalangi segala kelebihan yang dimilikinya. Sampai suatu
ketika tepatnya tanggal 17 Agustus aku mengirimkan pesan singkat kepadanya.
“Assalamualaikum, Lia apa kabar?. Hari ini adalah hari merdeka. Dan akupun
tidak ingin terjajah dan tersiksa oleh perasaan ini yang telah lama aku pendam.
Sebelumnya aku mohon maaf jika caraku ini tidak berkenan. Sungguh hanya lewat
inilah aku berani mengungkapkan perasaan yang selama ini aku pendam. Lia, aku
mencintai mu. Sangat mencintai mu. Aku berharap kamu membalas sms ku agar aku
segera terlepas dari beban cinta yang selama ini aku rasakan. Apapun jawaban mu
aku siap menerimanya”. Setelah ku tekan tombol send, dengan seketika detak
jantungku terasa semakin cepat. “Alhamdulillah, meskipun hanya ini keberanian
ku setidaknya aku sudah merdeka hari ini, gumamku. Tak sabar aku menanti
jawaban sms dari lia, waktu terasa sangat lama sekali. Hingga akhirnya HP ku
pun berdering tanda ada sms yang masuk. Ku buka dan benar saja dugaanku, ada
pesan masuk dari Lia. “Wa alaikum salam, maaf saya tidak bisa. Lagian bukan
begini caranya.” Jawabnya dengan singkat, jelas dan cukup menusuk. Akupun
mengurut dada sambil berkata lirih, “sabar muul, berarti dia bukan jodoh mu.”
Semenjak kejadian itu, aku terus memikirkan isi pesan
singkat yang berisi penolakan cinta dari Lia kepadaku. Terutama pada kalimat
yang kedua. “lagian bukan begini caranya”. Aku terus merenung dan mencari
kira-kira apa maksud dari perkataan itu. Akupun mulai lebih mendalami islam
sebagai agamaku. Seolah-olah penolakan dari Lia memotivasi ku untuk mencari
lebih banyak ilmu terutama tentang agamaku sendiri yang sudah turun temurun
diwariskan nenek moyang ku tetapi
sepertinya masih banyak rahasia terpendam yang belum aku ketahui. Perlahan
akupun mulai memahami bagaimana seharusnya pergaulan dalam islam.
Waktu terus berlalu, selayak nya teman-teman yang lain.
akupun tidak menutup diri terhadap cinta yang datang. Meskipun sifat dasarku
sebagai pemalu tidaklah hilang. Namun sifat ini seolah menemukan jodohnya yaitu
nilai-nilai islam yang menjaga pergaulan antar teman yang berlawanan jenis.
Sampai saat ini aku patut bersyukur
karena perpaduan dua sifat ini seolah menjadi tameng bagi ku untuk lebih
menjaga diri dari pergaulan agar tidak sampai terjerumus lebih jauh ke dalam
pergaulan yang bebas tanpa batas. Inilah jawaban dari sekian usaha percobaan
untuk mendekati lawan jenis yang selalu berujung kegagalan. Gagal dalam artian
menjalin sebuah hubungan sebagai mana teman-teman yang mengartikannnya dengan
sebutan pacaran. Akhirnya akupun memutuskan, udah ah jomblo aja. Berani jomblo itu hebat, berani jomblo itu
selamat, piddunia wal akhirat… Amin.