Minggu, 27 Desember 2015

Nemu dompet



Kemarin sore saya seperti biasa pergi mengantar kakak untuk bekerja disalah satu perusahaan pertambangan di bidang cateringan (masak-memasak). Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan ibu-ibu yang keliatan masih muda berboncengan sambil membawa segalon air. Mungkin karena ibu yang dibelakang sibuk menahan beban air yang berat sehingga tidak sadar bahwa dompetnya terjatuh. Saya yang melihat kejadian itu tidak sempat memanggil ibu tersebut dari jarak yang dekat karena memang arah kami berlawanan. Aku berhenti sambil membunyikan suara klakson berkali-kali namun tidak mendapatkan respon dari kedua ibu muda tersebut. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil sementara dompet tersebut. Siapa tau di dalamnya ada alamat yang bias ditemukan sehingga lebih mudah untuk menghubungi nama pemiliknya. Sepulang dari mengantar kakak saya mencoba untuk membuka isi dompet dengan niat ingin mencari nama si pemilik. Namun naas.
Nama pemiliknya tidak ada. Data yang kira-kira bias mengantarkan saya kepada si pemilik pun tidak ditemukan. Saya sempat muncul berpikiran untuk membelanjakan saja isi dompet tersebut karena memeang hari minggu adalah hari pasaran di desaku. Mungkin ini adalah rejeki yang dikirimkan oleh Allah kepadaku. Namun setetes iman dan kejujuran menghentikan niatku seketika. Akupun sempat berpikiran untuk memasukkan saja ke dalam kotak amal yang ada di masjidku, namun aku mengurungkan niatku. Aku sempat bingung mau ku apakan tepatnya uang yang ku dapat ini. Aku meminta saran dari istri namun dia menyarankan untuk mengumumkan di masji saja. Ah, aku pikir kurang elok. Karena selama ini belum pernah ada yang melakukan itu. Lagian, jumlah uang nya pun tidak terlalu besar sehingga khawatir menimbulkan pembicaraan yang tidak-tidak di masyarakat yang mendengarkan dan juga belum tentu pemiliknya di desa tempatku mengumumkan, siapa tau di desa tetangga. Karena memang aku menemukannya di jalan utama yang menghubungkan antar desa.
Teringat aku tentang sebuah cerita dimana seorang anak muda yang sedang kelaparan menemukan sebuah apel masak di pinggiran suangai. Karena si anak tersebut lapar akhirnya tanpa berpikir panjang dia langsung memakan buah tersebut. Setelah kenyang, si anak baru tersadar bahwa apel yang dimakan itu ternyata belum halal baginya. Dia pun akhirnya memutuskan untuk mencari si pemilik buah apel yang dimakannya tersebut. Dia pergi menulusuri aliran sungai dengan niat mungkin di atas sana barangkali ada seorang bapak tua yang memiliki kebun apel. Lamanya perjalanan pun dia tempuh. Onak dan duri kadang ia lalui. Terjalnya bebatuan pun kadang di terjang demi ketenangan batinnya karena telah terlanjur memakan buah yang bukan menjadi haknya. Akhirnya sampailah dia ke sebuah kebun apel yang terletak tidak jauh dari aliran sungai. Tanpa berpikir panjang dia bergegas mencari pemilik kebun tersebut siapa tahu ada di gubuknya.
“Assalamualaikum….”ucap pemuda .”Waalaikumsalam wr.wb.”. Jawab seorang lelaki tua dari dalam rumahnya. Pemuda itu dipersilahkan duduk dan dia pun langsung mengatakan segala sesuatunya tanpa ada yang ditambahi dan dikurangi. Bahwa dia telah lancang memakan apel yang terbawa arus sungai.”Berapa harus kutebus harga apel ini agar kau ridha apel ini aku makan pak tua”. tanya pemuda itu.Lalu pak tua itu menjawab. “Tak usah kau bayar apel itu, tapi kau harus bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa dibayar, apakah kau mau?”
Pemuda itu tampak berfikir, karena untuk segigit apel dia harus membayar dengan bekerja di rumah bapak itu selama tiga tahun dan itupun tanpa digaji, tapi hanya itu satu-satunya pilihan yang harus diambilnya agar bapak itu ridha apelnya ia makan.”Baiklah pak, saya mau.”Alhasil pemuda itu bekerja di kebun sang pemilik apel tanpa dibayar. Hari berganti hari, minggu, bulan dan tahun pun berlalu. Tak terasa sudah tiga tahun dia bekerja dikebun itu. Dan hari terakhir dia ingin pamit kepada pemilik kebun.
“Pak tua, sekarang waktuku bekerja di tempatmu sudah berakhir, apakah sekarang kau ridha kalau apelmu sudah aku makan?”.Pak tua itu diam sejenak. “Belum.” Pemuda itu terhenyak. “Kenapa pak tua, bukankah aku sudah bekerja selama tiga tahun di kebunmu.””Ya, tapi aku tetap tidak ridha jika kau belum melakukan satu permintaanku lagi.””Apa itu pak tua?”.”Kau harus menikahi putriku, apakah kau mau?”
“Ya, aku mau.” jawab pemuda itu. Bapak tua itu mengatakan lebih lanjut. “Tapi, putriku buta, tuli, bisu dan lumpuh, apakah kau mau?”. Pemuda itu tampak berfikir, bagaimana tidak…dia akan menikahi gadis yang tidak pernah dikenalnya dan gadis itu cacat, dia buta, tuli, dan lumpuh. Bagaimana dia bisa berkomunikasi nantinya? Tapi diap un ingat kembali dengan segigit apel yang telah dimakannya. Dan dia pun menyetujui untuk menikah dengan anak pemilik kebun apel itu untuk mencari ridha atas apel yang sudah dimakannya.
“Baiklah pak, aku mau.”.Segera pernikahan pun dilaksanakan. Setelah ijab kabul sang pemuda itupun masuk kamar pengantin. Dia mengucapkan salam dan betapa kagetnya dia ketika dia mendengar salamnya dibalas dari dalam kamarnya. Seketika itupun dia berlari mencari sang bapak pemilik apel yang sudah menjadi mertuanya.
“Ayahanda…siapakah wanita yang ada didalam kamar pengantinku? Kenapa aku tidak menemukan istriku?”.Pak tua itu tersenyum dan menjawab. “Masuklah nak, itu kamarmu dan yang di dalam sana adalah istimu.”Pemuda itu tampak bingung. “Tapi ayahanda, bukankah istriku buta, tuli tapi kenapa dia bisa mendengar salamku?.Bukankah dia bisu tapi kenapa dia bisa menjawab salamku?”
Pak tua itu tersenyum lagi dan menjelaskan. “Ya, memang dia buta, buta dari segala hal yang dilarang Allah. Dia tuli, tuli dari hal-hal yang tidak pantas didengarnya dan dilarang Allah. Dia memang bisu, bisu dari hal yang sifatnya sia-sia dan dilarang Allah, dan dia lumpuh, karena tidak bisa berjalan ke tempat-tempat yang maksiat.”
Pemuda itu hanya terdiam dan mengucap lirih: “Subhanallah…..”.Dan merekapun hidup berbahagia dengan cinta dari Allah.
Dari pasangan suami-istri yang terjaga dari dosa dan maksiat, haram dan kemungkaran ini, kemudian lahir seorang anak shaleh teladan, yang bahkan dalam umur enam tahun telah hafal Al-Quran. Dialah Muhammad bin Idris Assyafi’i yang tak lain adalah Imam Syafi’i. Itulah buah kesabaran dari ayah seorang ulama besar sepanjang masa ini. Sang ayah begitu sabar dalam menahan dan menghindari makanan yang haram, ibu yang selalu menjaga kesuciannya.
Begitulah sekelumit cerita tentang begitu berharganya iman dan kejujuran yang terjadi pada zaman sahabat dan tabiut tabiin. Mungkin terlalu tinggi jika membanding kan dengan kondisi kita saat ini. Tetapi setidaknya, kita bias mengaplikasikan sejauh dan semaksimal yang dapat kita usahakan sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT. Demikian curhatan saya ini, semoga bermanfaat bagi sahabat yang berkenan membacanya…. Amin.

1 komentar: