Kemarin sore saya seperti biasa pergi mengantar kakak untuk
bekerja disalah satu perusahaan pertambangan di bidang cateringan
(masak-memasak). Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan ibu-ibu yang
keliatan masih muda berboncengan sambil membawa segalon air. Mungkin karena ibu
yang dibelakang sibuk menahan beban air yang berat sehingga tidak sadar bahwa
dompetnya terjatuh. Saya yang melihat kejadian itu tidak sempat memanggil ibu
tersebut dari jarak yang dekat karena memang arah kami berlawanan. Aku berhenti
sambil membunyikan suara klakson berkali-kali namun tidak mendapatkan respon
dari kedua ibu muda tersebut. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil sementara
dompet tersebut. Siapa tau di dalamnya ada alamat yang bias ditemukan sehingga
lebih mudah untuk menghubungi nama pemiliknya. Sepulang dari mengantar kakak
saya mencoba untuk membuka isi dompet dengan niat ingin mencari nama si
pemilik. Namun naas.
Nama pemiliknya tidak ada. Data yang kira-kira bias mengantarkan saya kepada si pemilik pun tidak ditemukan. Saya sempat muncul berpikiran untuk membelanjakan saja isi dompet tersebut karena memeang hari minggu adalah hari pasaran di desaku. Mungkin ini adalah rejeki yang dikirimkan oleh Allah kepadaku. Namun setetes iman dan kejujuran menghentikan niatku seketika. Akupun sempat berpikiran untuk memasukkan saja ke dalam kotak amal yang ada di masjidku, namun aku mengurungkan niatku. Aku sempat bingung mau ku apakan tepatnya uang yang ku dapat ini. Aku meminta saran dari istri namun dia menyarankan untuk mengumumkan di masji saja. Ah, aku pikir kurang elok. Karena selama ini belum pernah ada yang melakukan itu. Lagian, jumlah uang nya pun tidak terlalu besar sehingga khawatir menimbulkan pembicaraan yang tidak-tidak di masyarakat yang mendengarkan dan juga belum tentu pemiliknya di desa tempatku mengumumkan, siapa tau di desa tetangga. Karena memang aku menemukannya di jalan utama yang menghubungkan antar desa.
Nama pemiliknya tidak ada. Data yang kira-kira bias mengantarkan saya kepada si pemilik pun tidak ditemukan. Saya sempat muncul berpikiran untuk membelanjakan saja isi dompet tersebut karena memeang hari minggu adalah hari pasaran di desaku. Mungkin ini adalah rejeki yang dikirimkan oleh Allah kepadaku. Namun setetes iman dan kejujuran menghentikan niatku seketika. Akupun sempat berpikiran untuk memasukkan saja ke dalam kotak amal yang ada di masjidku, namun aku mengurungkan niatku. Aku sempat bingung mau ku apakan tepatnya uang yang ku dapat ini. Aku meminta saran dari istri namun dia menyarankan untuk mengumumkan di masji saja. Ah, aku pikir kurang elok. Karena selama ini belum pernah ada yang melakukan itu. Lagian, jumlah uang nya pun tidak terlalu besar sehingga khawatir menimbulkan pembicaraan yang tidak-tidak di masyarakat yang mendengarkan dan juga belum tentu pemiliknya di desa tempatku mengumumkan, siapa tau di desa tetangga. Karena memang aku menemukannya di jalan utama yang menghubungkan antar desa.
Teringat aku tentang sebuah cerita dimana seorang anak muda
yang sedang kelaparan menemukan sebuah apel masak di pinggiran suangai. Karena
si anak tersebut lapar akhirnya tanpa berpikir panjang dia langsung memakan
buah tersebut. Setelah kenyang, si anak baru tersadar bahwa apel yang dimakan
itu ternyata belum halal baginya. Dia pun akhirnya memutuskan untuk mencari si
pemilik buah apel yang dimakannya tersebut. Dia pergi menulusuri aliran sungai
dengan niat mungkin di atas sana barangkali ada seorang bapak tua yang memiliki
kebun apel. Lamanya perjalanan pun dia tempuh. Onak dan duri kadang ia lalui.
Terjalnya bebatuan pun kadang di terjang demi ketenangan batinnya karena telah
terlanjur memakan buah yang bukan menjadi haknya. Akhirnya sampailah dia ke
sebuah kebun apel yang terletak tidak jauh dari aliran sungai. Tanpa berpikir
panjang dia bergegas mencari pemilik kebun tersebut siapa tahu ada di gubuknya.
“Assalamualaikum….”ucap pemuda
.”Waalaikumsalam wr.wb.”. Jawab seorang lelaki tua dari dalam rumahnya. Pemuda
itu dipersilahkan duduk dan dia pun langsung mengatakan segala sesuatunya tanpa
ada yang ditambahi dan dikurangi. Bahwa dia telah lancang memakan apel yang
terbawa arus sungai.”Berapa harus kutebus harga apel ini agar kau ridha apel
ini aku makan pak tua”. tanya pemuda itu.Lalu pak tua itu menjawab. “Tak usah
kau bayar apel itu, tapi kau harus bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa
dibayar, apakah kau mau?”
Pemuda itu tampak berfikir, karena
untuk segigit apel dia harus membayar dengan bekerja di rumah bapak itu selama
tiga tahun dan itupun tanpa digaji, tapi hanya itu satu-satunya pilihan yang
harus diambilnya agar bapak itu ridha apelnya ia makan.”Baiklah pak, saya
mau.”Alhasil pemuda itu bekerja di kebun sang pemilik apel tanpa dibayar. Hari
berganti hari, minggu, bulan dan tahun pun berlalu. Tak terasa sudah tiga tahun
dia bekerja dikebun itu. Dan hari terakhir dia ingin pamit kepada pemilik
kebun.
“Pak tua, sekarang waktuku bekerja di
tempatmu sudah berakhir, apakah sekarang kau ridha kalau apelmu sudah aku
makan?”.Pak tua itu diam sejenak. “Belum.” Pemuda itu terhenyak. “Kenapa pak
tua, bukankah aku sudah bekerja selama tiga tahun di kebunmu.””Ya, tapi aku
tetap tidak ridha jika kau belum melakukan satu permintaanku lagi.””Apa itu pak
tua?”.”Kau harus menikahi putriku, apakah kau mau?”
“Ya, aku mau.” jawab pemuda itu. Bapak
tua itu mengatakan lebih lanjut. “Tapi, putriku buta, tuli, bisu dan lumpuh,
apakah kau mau?”. Pemuda itu tampak berfikir, bagaimana tidak…dia akan menikahi
gadis yang tidak pernah dikenalnya dan gadis itu cacat, dia buta, tuli, dan
lumpuh. Bagaimana dia bisa berkomunikasi nantinya? Tapi diap un ingat kembali
dengan segigit apel yang telah dimakannya. Dan dia pun menyetujui untuk menikah
dengan anak pemilik kebun apel itu untuk mencari ridha atas apel yang sudah
dimakannya.
“Baiklah pak, aku mau.”.Segera pernikahan
pun dilaksanakan. Setelah ijab kabul sang pemuda itupun masuk kamar pengantin.
Dia mengucapkan salam dan betapa kagetnya dia ketika dia mendengar salamnya
dibalas dari dalam kamarnya. Seketika itupun dia berlari mencari sang bapak
pemilik apel yang sudah menjadi mertuanya.
“Ayahanda…siapakah wanita yang ada
didalam kamar pengantinku? Kenapa aku tidak menemukan istriku?”.Pak tua itu
tersenyum dan menjawab. “Masuklah nak, itu kamarmu dan yang di dalam sana
adalah istimu.”Pemuda itu tampak bingung. “Tapi ayahanda, bukankah istriku
buta, tuli tapi kenapa dia bisa mendengar salamku?.Bukankah dia bisu tapi
kenapa dia bisa menjawab salamku?”
Pak tua itu tersenyum lagi dan
menjelaskan. “Ya, memang dia buta, buta dari segala hal yang dilarang Allah.
Dia tuli, tuli dari hal-hal yang tidak pantas didengarnya dan dilarang Allah.
Dia memang bisu, bisu dari hal yang sifatnya sia-sia dan dilarang Allah, dan
dia lumpuh, karena tidak bisa berjalan ke tempat-tempat yang maksiat.”
Pemuda itu hanya terdiam dan mengucap
lirih: “Subhanallah…..”.Dan merekapun hidup berbahagia dengan cinta dari Allah.
Dari pasangan suami-istri yang terjaga
dari dosa dan maksiat, haram dan kemungkaran ini, kemudian lahir seorang anak
shaleh teladan, yang bahkan dalam umur enam tahun telah hafal Al-Quran. Dialah
Muhammad bin Idris Assyafi’i yang tak lain adalah Imam Syafi’i. Itulah buah
kesabaran dari ayah seorang ulama besar sepanjang masa ini. Sang ayah begitu
sabar dalam menahan dan menghindari makanan yang haram, ibu yang selalu menjaga
kesuciannya.
Begitulah sekelumit cerita tentang
begitu berharganya iman dan kejujuran yang terjadi pada zaman sahabat dan
tabiut tabiin. Mungkin terlalu tinggi jika membanding kan dengan kondisi kita
saat ini. Tetapi setidaknya, kita bias mengaplikasikan sejauh dan semaksimal yang
dapat kita usahakan sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT. Demikian curhatan
saya ini, semoga bermanfaat bagi sahabat yang berkenan membacanya…. Amin.
alhamdulillah....
BalasHapus