Senin, 29 Juni 2015

"Udah ah Jomblo Aja"



Perjalanan ku mengenal cinta dimulai sejak aku masih duduk di bangku kelas empat sd. Yayat, nama panggilan kecil gadis itu. Dia kakak kelasku sekaligus anak kepala sekolah ku. Mungkin terdengar aneh dikala itu mencintai seorang kakak kelas tetapi tidak bagi ku karena cintaku datang begitu saja tanpa di minta. Tetapi begitulah aku. Hanya bias mencintai tanpa berani mengungkapkan. Sampai waktu berlalu dan keadaan yang memisahkan tak pernah ada lagi cerita tentang ketertarikan seorang mulyadi kepada yayat sang anak kepala sekolah yang begitu menawan.

Waktu terus berlalu,
membawaku menapaki jenjang pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) negeri 3 kusan hilir. Saat ini sekolahku tersebut telah berganti nama menjadi sekolah menengah pertama(SMP) negeri 1 angsana. Di sini pun aku tidak pernah memiliki cerita cinta yang menarik untuk aku ceritakan kepada teman sebayaku. Karena cintaku masih sama seperti keadaan waktu di sd. Cinta yang hanya bias mengagumi dalam hati tanpa berani mengutarakan kepada si gadis impian. Fitri nama gadis itu. Kali ini dia adik kelas ku. Meskipun begitu aku masih belum ada keberanian untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Mungkin memang beginilah aku dari dulu seorang remaja pemalu yang hanya bias senyum tersipu ketika ditanyakan tentang cinta kepada ku.

Pernah suatu ketika sepulang dari sekolah. “Ayo teman-teman aku duluan”, ucap Maesaroh, teman dekat Fitri yang kebetulan sekali waktu itu kami pulang berbarengan dengan teman-teman pria yang lain. selang beberapa saat “ayo mau masuk dulu gak”, ucap masran teman ku sambil membelokkan si “Mustang” yang telah setia menemani hamper tiga tahun lamanya. Sambil bercengkrama beriringan kami terus mengayuh sepeda masing-masing. “Ayo”, ucap Ismail singkat sambil membelokkan sepeda “jengki” khas orang tua  tahun 90 an. Tiba lah saat tinggal kami berdua yang mengayuh sepeda masing-masing. Ada perasaan senang sekaligus gugup ketika tinggal kami berdua saja yang mengayuh sepeda setelah satu persatu teman-temanku sampai dirumahnya masing-masing. Tak ayal setiap matapun tertuju kearah kami ketika kami melintasi warung-warung dan kerumunan orang-orang yang duduk-duduk di atas dipan melepas penatnya siang hari. Bahkan ada yang sampai bersiul dan mengejek ku. “Mul, sai ni, braya me ke?”(Mul, dengan siapa itu, pacar mu ya) sapa seorang wanita paruh baya dengan bahasa lomboknya. “Nde iya, batur sekolah, kebetulan nde na milu mobil jemputan jelo ne”. (bukan, teman sekolah. Kebetulan dia tidak ikut mobil jemputan hari ini) jawab ku dengan tersenyum sambil menoleh kerarah Fitri yang dari tadi seolah bingung mendengar percakapan kami. Grogi terlihat jelas dari raut wajah ku, karena sampai perjalanan menuju rumahku semakin dekat aku belum juga menemukan kata-kata pamungkas untuk bias menentramkan hati ini yang selalu terbayang wajahnya berhari-hari. “Fit, aku mau sampai ne, mau ikut mampir dulu gak, kata ku mencoba menawarkan diri”. Enggak, terima kasih aja kak. Mungkin lain kali” ujarnya. “Tapi kan perjalanan mu masih jauh. Apalagi kamu masih akan melewati perkebunan sawit yang begitu sepi, apa kamu tidak takut?” Tanya ku balik seolah khawatir akan keselamatannya. Tidak kok, Insya Allah aman aja. Asal masih siang hari gak papa” jawabnya. “Ya udah deh kalau begitu, hati-hati di jalan ya?” jawab ku dengan nada berat hati karena aku tidak berhasil mengatakan apa yang selama ini aku pendam. Sambil mengayuh gontai aku terus memaki diri dalam hati, kenapa kamu masih belum berani juga muuul, tanyaku kepada diri sendiri.

Begitulah, akhirnya masa remaja SMP pun berlalu begitu saja tanpa cerita cinta yang berarti. Sampai aku lulus nama Fitri hanya ada dalam hati ku tanpa seorang pun yang tau bahwa aku pernah mencintanya. Waktu Sekolah Menengah Atas (SMA) pun tiba. Di sini, lagi-lagi aku tertarik dengan seorang adik kelasku. Mimin, adalah namanya yang aku dengar dari teman-temanku. Orangnya berjilbab, putih, agak pendiam, dan senyumnya sungguh menawan hati. Selidik punya selidik ternyata dia telah memiliki seorang kekasih yang juga satu angkatan dengannya. Hal ini aku tau dari Wira teman dekatku yang kebetulan anak kepala sekolahku waktu itu. Meskipun terlihat pendiam tetapi dia seorang yang cukup berprestasi. Hal ini membuat ku menaruh perasaan yang teramat sangat mencintainya. Dan sekali lagi, akupun tidak meninggalkan jejak maupun cerita bahwa aku pernah mencintai seorang siti aminah dikala SMA. Mungkin hanya wira lah yang tau isi hati ku, sampai saat ini.

Menginjak bangku kuliah, kedewasaan ku mulai tumbuh. Aku mulai berfikir bahwa hidup di daerah yang jauh dari orang tua harus pandai-pandai menjaga diri. Menjaga dari arus pergaulan dan menjaga dari setiap keinginan untuk membelanjakan uang jajan yang diberikan orang tua. Hidup di negeri orang harus pandai-pandai berhemat dan melihat peluang. Agar tidak hanya semata-mata mengharapkan uang bekal dari rumah di kampung. Banjarmasin adalah kota besar. Ibukotanya Kalimantan selatan. Memasuki dunia kampus sungguh sangat berbeda dengan dunia sekolah yang telah 12 tahun menempa adat kebiasaan dalam menuntut ilmu pengetahuan.

Disini aku satu angkatan dengan Lia. Seorang gadis manis berjilbab yang cukup berpendirian. Bahkan dia terlihat cukup vocal disbanding teman-teman ku yang lain. hal ini akan terlihat ketika di salah satu mata kuliah ada diskusi yang membahas suatu topic tertentu. Apalagi dia juga sangat aktif dalam salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di bidang keagamaan yang ada di kampus. Apalagi UKM yang dia ikuti terbilang cukup keras menyuarakan setiap aspirasi yang berbeda pandangan dengan mereka. Tetapi meskipun begitu ketertarikan ku kepadanya tidak menghalangi segala kelebihan yang dimilikinya. Sampai suatu ketika tepatnya tanggal 17 Agustus aku mengirimkan pesan singkat kepadanya. “Assalamualaikum, Lia apa kabar?. Hari ini adalah hari merdeka. Dan akupun tidak ingin terjajah dan tersiksa oleh perasaan ini yang telah lama aku pendam. Sebelumnya aku mohon maaf jika caraku ini tidak berkenan. Sungguh hanya lewat inilah aku berani mengungkapkan perasaan yang selama ini aku pendam. Lia, aku mencintai mu. Sangat mencintai mu. Aku berharap kamu membalas sms ku agar aku segera terlepas dari beban cinta yang selama ini aku rasakan. Apapun jawaban mu aku siap menerimanya”. Setelah ku tekan tombol send, dengan seketika detak jantungku terasa semakin cepat. “Alhamdulillah, meskipun hanya ini keberanian ku setidaknya aku sudah merdeka hari ini, gumamku. Tak sabar aku menanti jawaban sms dari lia, waktu terasa sangat lama sekali. Hingga akhirnya HP ku pun berdering tanda ada sms yang masuk. Ku buka dan benar saja dugaanku, ada pesan masuk dari Lia. “Wa alaikum salam, maaf saya tidak bisa. Lagian bukan begini caranya.” Jawabnya dengan singkat, jelas dan cukup menusuk. Akupun mengurut dada sambil berkata lirih, “sabar muul, berarti dia bukan jodoh mu.”

Semenjak kejadian itu, aku terus memikirkan isi pesan singkat yang berisi penolakan cinta dari Lia kepadaku. Terutama pada kalimat yang kedua. “lagian bukan begini caranya”. Aku terus merenung dan mencari kira-kira apa maksud dari perkataan itu. Akupun mulai lebih mendalami islam sebagai agamaku. Seolah-olah penolakan dari Lia memotivasi ku untuk mencari lebih banyak ilmu terutama tentang agamaku sendiri yang sudah turun temurun diwariskan nenek moyang ku  tetapi sepertinya masih banyak rahasia terpendam yang belum aku ketahui. Perlahan akupun mulai memahami bagaimana seharusnya pergaulan dalam islam.

Waktu terus berlalu, selayak nya teman-teman yang lain. akupun tidak menutup diri terhadap cinta yang datang. Meskipun sifat dasarku sebagai pemalu tidaklah hilang. Namun sifat ini seolah menemukan jodohnya yaitu nilai-nilai islam yang menjaga pergaulan antar teman yang berlawanan jenis. Sampai saat ini aku patut  bersyukur karena perpaduan dua sifat ini seolah menjadi tameng bagi ku untuk lebih menjaga diri dari pergaulan agar tidak sampai terjerumus lebih jauh ke dalam pergaulan yang bebas tanpa batas. Inilah jawaban dari sekian usaha percobaan untuk mendekati lawan jenis yang selalu berujung kegagalan. Gagal dalam artian menjalin sebuah hubungan sebagai mana teman-teman yang mengartikannnya dengan sebutan pacaran. Akhirnya akupun memutuskan, udah ah jomblo aja. Berani jomblo itu hebat, berani jomblo itu selamat, piddunia wal akhirat… Amin.

1 komentar: